Astrid Septriana – detikhot
Video instalasi merupakan seni kontemporer yang mengkombinasikan tekhnologi video dengan seni instalasi. Semua aspek dari lingkungan sekitar digunakan untuk memberikan pengaruh kepada penonton.
Dalam struktur naratif sebuah karya video seni instalasi, ruang merupakan salah satu kunci utamanya.”Video instalasi itu terkait dengan ruang, jadi pasti butuh ruang,” ujar Mahardika Yudha, Direktur OK Video Festival 2013 kepada detikHOT pada Selasa (3/9/2013) di Galeri Nasional, Jakarta.
Perbedaan antara seni instalasi video dengan sebuah video single-channel yang biasa kita saksikan dirumah adalah single channel tidak membutuhkan ruang spesifik. Walaupun video tersebut mengintervensi ruang, dia tidak membutuhkan spesifikasi ukurannya harus sekian, dan lainnya.
Sementara karya seni video instalasi membutuhkan spesifikasi seperti besar ruang, pencahayaan dan audio. Semua akan mempengaruhi presentasi karyanya. “Bila ini tidak dipenuhi maka karyanya akan gagal,” kata Mahardika.
Instalasi itu harus memiliki objek, si karya itu jadi bisa dilihat sebagai benda. Ia bukan hanya representasi dua atau tiga dimensi seperti apa yang ada pada video.
“Kalau seperti ini, enggak ada unsur meruangnya.” Namun, dalam video instalasi yang terpenting ialah, objeknya bisa memberikan penonton sebuah pengalaman, dan aktif untuk berpartisipasi, atau bahkan berinteraksi.
Membahas soal akar sejarahnya, menurut Mahardika, seni video itu memiliki bahasa yang sama dengan film. Namun, keduanya memiliki latar sejarah yang berbeda.
“Film itu konsepnya lebih dekat ke teater, sementara video lebih dekat ke media massa. Karena ini lahir sebagai respon atas televisi,” ujarnya.
***
Tokoh yang bisa dibilang sebagai penggagas dari gerakan video instalasi adalah orang Korea Selatan yang besar di Amerika Serikat, yakni Name June Paik. Pada pertengahan tahun 60-an ia menggunakan beberapa monitor televisi yang dirangkai menjadi berbentuk laiknya patung.
“Dulu saat lahirnya video instalasi, ini memang lebih cenderung ke bentuk patung. Misalkan ada 12 televisi yang disusun menjadi satu karya dengan memiliki sistemnya sendiri.
“Namun pada pertengahan tahun 70-an, tren patung yang terkait dengan video instalasi mulai memudar dan muncul kejenuhan akan bentuk ini. Maka, pergerakan bentuknya terus dikreasikan dan berkembang hingga kini.
Menurut Mahardika, di Indonesia sendiri, video instalasi masuk sejak era seniman Heru Dono, Teguh Ostenrik dan Krisna Murti. Sekitar akhir 80’an hingga awal 90’an.
***
Di Indonesia, pendekatan video instalasi lebih kuat berasal dari dunia seni rupa. “Lalu kemudian, sekitar pasca reformasi, ini semua berubah, disini ada campur tangan tentang sinema juga,” ujarnya.
Dengan beberapa referensi tersebut, maka OK Video kini semakin berkembang untuk melebur video ke media yang lebih jauh lagi. Lebih jauh mengenai seni itu sendiri, Mahardika peran seni ialah sebagai jembatan antara masyarakat dengan perubahan di dalamnya.
“Muluk-muluknya saya berharap apa yang disajikan di OK Video bisa menjadi stimulan atau agar orang bisa berpikir ulang lagi soal tekhnologi, untuk berkreasi dan memahami manfaat yang lebih jauh dari sekedar di konsumsi, juga bagaimana kita bisa mengkritik dan menyaring informasi yang sekarang sudah sangat banyak.”
Menurut Mahardika, wacana di seni rupa indonesia itu masih sedikit. Di dunia barat misalnya, pada bentuk perkembangan seni yang sehat, sudah memiliki perangkat-perangkatnya. Sementara di Indonesia ada hal yang timpang di antara kritikus, seniman, peneliti, kurator, pasar seni, biennials, kolektor. Wacana atau kritik menjadi stagnan.
Ia menceritakan bahwa di OK Video 2003 – 2007 sangat sedikit penulis yang mengulas soal karya video instalasi. “Akhirnya OK Video berpikir, kita harus punya penulis, punya kritikus, punya kurator, kolektor hingga pengarsipan sendiri. Semua itu kita bangun sendiri.”